Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?[1][2]
(Hal-76) Menekuni hadist dan
sabda Rasulullah saw, selalu menghasilkan nilai-nilai yang begitu dalam
maknanya. Sabda Rasulullah saw, disebut para ulama memiliki sifat “jawaami’ul
kamil”, perkataan yang singkat, padat dan berbobot. Salah satu sabdanya
yang kita coba renungkan kali ini. “Ada tiga sikap”, kata Rasulullah saw. “Bila
ketiganya berkumpul pada diri seseorang, terhimpunlah makna keimanan dalam diri
orang itu. Yaitu sikap objektif terhadap diri sendiri, menyebarkan salam kepada
siapapun (yang dikenal maupun yang tidak dikenal), dan berinfaq di saat
kebutuhan terhadap yang diinfaqkan.”
(Hal-77) perhatikanlah satu
persatu sikap itu. Teliti perlahan. Lalu ucapkanlah subhanallah, Maha
Suci Allah swt yang memberikan ilham kepada Rasulullah saw dalam perkataan yang
sangat penuh nilai itu. Mari kita renungkan.
Saudaraku,
Sikap jujur meskipun diri sendiri, seimbang dalam menilai walaupun terhadap
diri sendiri, objektif dalam menghukumi meski terhadap diri sendiri. Itu semua
juga berarti mempertahankan sikap netral di saat kita berselisih dengan pihak
lain. Artinya, kita tetap bisa memandang sisi baik orang yang berbeda dan kita
anggap salah, dan sebaliknya tetap bisa melihat sisi negatif yang mungkin ada
dalam diri kita, saat kita menyalahkan perilaku orang lain. Sebagian besar
orang mengatakan, seperti itu mustahil dimiliki. Alasannya, hampir tidak ada
manusia yang terlepas dari keakuan dan ego, sehingga dia sulit sekali
memposisikan dirinya, sama, seimbang dalam menilai pihak lain yang sedang
berselisih dengannya.
Saudaraku,
Biasanya, kita memiliki pandangan lebih istimewa terhadap diri kita
sendiri. Atau, biasanya juga, kita akan selalu memcoba mencari posisi mana yang
bisa membenarkan apa yang kita lakukan. Kita, bagaimanapun umumnya merasakan,
memiliki unsur kebenaran yang lebih banyak ketimbang orang lain. Lalu, bila
kita dalam posisi sulit membela diri karena telah jelas melakukan kesalahan,
kita menelisik dan mencari-cari, sisi mana yang masih mungkin diambil dan
diangkat, agar sedikit banyak bisa menambah pembenaran kesalahan yang kita
lakukan. Misalnya kita akan berusaha membenarkan sikap keliru yang kita
lakukan, dengan melihat dari sisi niat atau keinginan baik yang kita lakukan.
Sehingga, meskipun salah, setidaknya kita berniat baik. Poin niat baik itu
mengandung unsur ego agar setidaknya bisa menambah sisi baik dari sebuah
kesalahan. Atau, jika sudah benar mengakui salah, kita akan mengatakan,”Saya
memang salah, tapi mungkin cara pengungkapannya yang salah. Sedangkan maksudnya
baik.” Begitulah.
Memang selalu sulit sekali berlaku adil, objektif, jujur, tatkala harus
berurusan dengan diri sendiri. Dan itulah sikap pertama yang bila dimiliki,
menurut Rasulullah saw, adalah bagian penting dari makna keimanan. Para ulama
saat menguraikan hadist ini menjelaskan, bahwa orang yang jujur, yang adil,
adalah orang yang mengenal dan mengakui apa yang dilakukannya. Mengakui
terhadap dirinya sendiri bahwa ia telah melakukan sesuatu yang salah terhadap
fulan. Atau mengakui bahwa ia telah berlaku merendahkan fulan.
(Hal-78) Saudaraku,
Masih dalam konteks yang sama, sangat berbeda sekali bila kita melihat
kesalahan yang sama dilakukan oleh orang lain. Rasulullah saw memberikan
pemisahan lain tentang hal ini. “Salah seorang kalian melihat bintik kotoran di
mata saudaranya. Tapi ia melupakan kotoran besar yang ada di matanya sendiri,”
demikian dalam hadist riwayat Bukhari. Kita cenderung hanya melihat kesalahan
pihak lain saja, tanpa mau membuka kemungkinan adanya kebenaran yang biasanya
kita gunakan dalam menilai bila kondisi itu ada pada diri sendiri. Kita
cenderung tidak melihat apa latarbelakang, niat dan maksud orang yang kita
anggap melakukan kesalahan itu. Apalagi bila berpikir, bahwa orang tersebut
akan bertaubat, beristigfar dan menyesali kesalahannya. Coba bandingkan dua hal
ini.
Sikap yang sama juga harusnya berlaku bila kita berhadapan dengan suatu
kelompok, organisasi atau lembaga. Tidak menisbatkan kesalahan seseorang dari
kelompok tertentu, menjadi kesalahan semua orang yang ada dalam kelompok atau
organisasi itu. Persis sama dengan keinginan kita, agar pihak lain tidak
menyamarakan kekeliruan satu dua orang kelompok kita, menimpa sepuruh orang
yang ada dalam organisasi termasuk kita.
Saudaraku,
Sikap kedua dalam hadist diatas juga memiliki irisan makna yang jelas
dengan sikap pertama. Memberi salam kepada siapapun, baik yang kita kenal
maupun yang tidak kita kenal. Sepertinya mudah, tapi ini merupakan ciri dari
ketawadu’an sekaligus keimanan seseorang.
Sedangkan sikap ketiga, berinfaq dengan sesuatu yang diperlukan. Memberikan
dan mengeluarkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan di saat kita
sendiri sedang membutuhkan sesuatu itu. Pasti tidak mudah. Karena jiwa manusia,
cenderung menahan yang ia miliki, dan cenderung tidak memberikan kepada orang
lain, sesuatu yang ia butuhkan. Maka, seandainya, ada orang yang memiliki sikap
ini seperti ini, hampir dipastikan, tidak ada kesombongan dalam dirinya, tidak
ada ego dalam hatinya. Yang ada adalah empati, mendahulukan orang lain, yang
otomatis berarti lebih menghargai orang lain.
Saudaraku,
Tiga sikap yang sungguh padat nilainya dan bukan mudah memilikinya. Tiga
sikap yang saling berkait dan benar-benar menunjukkan kualitas iman yang
luarbiasa bagi orang yang melakukannya. Bersikap jujur terhadap diri sendiri,
tak memandang kondisi orang dalam bersikap baik dan bersikap baik, lalu
memberikan kepada orang lain, dengan sesuatu yang sedang dibutuhkan.
Adakah diantara kita yang sanggup membuktikan keimanan kita dengan
melakukan sikap-sikap itu semua?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar